Oleh: Dra. Mercy Sihombing, S.H. (Advokat/Penasehat hukum Ketua FKMTI SK Budiardjo dan Nurlela) MediaBantenCyber.co.id – (MBC) Jakarta, Mengikuti proses pengadilan yang penuh keanehan (baca rekayasa) merupakan pengalaman yang harus saya jalani
selaku Penasehat Hukum SK Budiardjo dan Nurlela. Pasangan suami istri pembeli tanah beritikad baik tetapi jadi korban kriminalisasi Gembong Mafia Tanah yang diduga didukung oleh Oknum Mafia Peradilan.
Banyak sekali yang bisa diungkap sepanjang 27 kali sidang sejak Januari sampai Oktober 2023 di Pengadilan Negeri Jakarta Barat. Majelis hakim bernama Yuswardi, Esthar Oktavi, dan Kristijan Purwandono (dan Panitera Pengganti Herlin Setiani).
Kelihatannya, mereka semua perlu mendapat ‘perhatian’ Komisi Yudisial karena mengabaikan lima puluh tiga (53) dokumen otentik milik SK Budiardjo, bahkan membuat vonis “yang zalim”. Saat ini, Budi dan Lela dengan tegar menjalani vonis 2 tahun di Rutan Pondok Bambu dan Rutan Salemba.
Ini catatan saya, Advokat Mercy Sihombing berdasarkan fakta persidangan dalam rangka menjawab Judul Tulisan.
- Majelis hakim begitu ‘melindungi’ saksi bernama Eni Rohaeni, mantan Lurah Cengkareng Timur. Eni yang
sekarang berprofesi pengacara, hadir di PN Jakarta Barat sebagai saksi dari Jaksa. Dalam BAP, perempuan berhijab itu mengaku tandatangannya dipalsukan dalam Surat Keterangan berkop Kelurahan Cengkareng
Timur. Namun di muka persidangan, ketika saya selaku Penasehat Hukum Budi dan Lela ingin membandingkan antara tanda tangan yang katanya dipalsukan dan tanda tangan asli Eni sesuai KTP; Eni mengaku tidak membawa KTP. Waduh, semestinya saksi tanpa identitas dilarang menjadi saksi. Namun justru kesaksian Eni, malah menjadi pertimbangan vonis Hakim.
- Tiga dari empat jaksa yang namanya terpampang di Surat Dakwaan, tidak pernah hadir satu kali pun dalam
persidangan. Termasuk Kasi Pengawasan Kejaksaan Tinggi Jakarta bernama Asep Sunarsa. Kasi Pengawasan kok tidak bisa mengawasi dirinya sendiri untuk berkomitmen hadir sidang. Satu detik pun, Asep tak pernah hadir sidang, tetapi dia yang membuat surat dakwaan, surat tuntutan dan replik Budi dan Lela; Dakwaan Pasal 266 ayat (2) dan atau Pasal 263 ayat (2) KUHPidana, ancaman 2 tahun 6 bulan penjara.
- Saksi lain, Marsetyo Mahatmanto yang mengaku sebagai pengacara PT Sedayu Sejahtera Abadi (Sedayu) berjanji (ada bukti rekaman video) segera melalui Jaksa menyerahkan fotocopy bukti yang kami tanyakan, yang tidak dia bawa saat sidang. Khususnya bukti Akta Pendirian PT Bangun Marga Jaya BMJ, yang sampai saat ini tidak dia tepati. PT BMJ adalah penjual tanah 112.840 m2 kepada PT Sedayu. Oleh karena itu, Akta pendirian BMJ jadi bukti mengkonfirmasi apakah BMJ punya legal standing selaku Badan Usaha untuk melakukan pembelian tanah maupun penjualan tanah.
- Berkaitan dengan poin 3, di muka persidangan, saya mempermasalahkan kapan tepatnya pendirian BMJ. BMJ mengaku sejak 14 April 1997 sudah memiliki Sertifikat HGB 1633 seluas 112.840 m2. Namun catatan resmi negara RI, yakni Data Kementerian Hukum dan HAM, mengungkap bahwa PT BMJ berdiri tahun 2008. Kok bisa
perusahaan yang baru berdiri Tahun 2008 tetapi SEBELAS TAHUN SEBELUMNYA sudah punya Sertifikat HGB.
- Keanehan sertifikat HGB 1633 seharusnya bisa terbongkar di muka persidangan, jika petugas BPN bernama Syarifuddin bisa dihadirkan Jaksa dan didukung Majelis
Hakim. Bahwa untuk keperluan pembuktian di pengadilan, jika saksi tidak hadir meskipun telah dipanggil dengan sah, Hakim Ketua sidang mempunyai cukup alasan
untuk menyangka bahwa saksi itu tidak akan mau hadir, maka Hakim Ketua sidang dapat memerintahkan agar saksi tersebut dihadapkan ke persidangan. Fakta persidangan, Hakim Yuswardi tidak pernah memerintahkan JPU memanggil Syarifuddin.
Patut diduga dia sengaja “disembunyikan” Jaksa bahkan Hakim, supaya keanehan, tepatnya ‘ketidakberesan’ sertifikat HGB 1633 tidak terbongkar. Padahal justru HGB 1633 ini menjadi biang kerok sengketa tanah, karena mencaplok tanah girik yang secara sah dibeli Budi dan Lela.(BTL)
Tidak ada komentar