Oleh : Enhaka ( Praktisi Manajemen SDM )
MediaBantenCyber.co.id (MBC), Kota Tangerang Selatan (Tangsel)- Sehabis lebaran seorang pelayan warteg bertanya ke pelanggannya, seorang buruh bangunan dari tetangga desanya sepertinya. Kok sudah mulai kerja? Temannya menjawab dengan santai. Iya kerja di proyek punya cina harus sesuai jadwal. Gak ada toleransinya. Gak seperti kerja di orang kita.
Sambil makan saya tersenyum kecut mendengar jawaban spontan sang buruh bangunan. Mana yang benar ini? Di satu sisi dia telah melakukan tindakan benar masuk kerja sesuai jadwal. Di sisi lain dia mencela tidak ada toleransi ikut orang Cina.
Percakapan sederhana dan singkat itu sebetulnya mengisyaratkan soal penting terkait dengan prinsip prinsip etos kerja yang bersumber dari pemahaman dan kebiasaan.
Ucapan spontan seorang buruh bangunan dapat bermakna mewakili banyak orang baik sesama jenis pekerjaan maupun pekerjaan lainnya.
Jangan jangan juga secara bawah sadar mewakili etos kerja sebagian besar pekerja formal dan informal di negeri ini.
Pengalaman pribadi pernah bekerja di perusahaan Jepang menunjukkan betapa karyawannya yang 99% orang Indonesia bisa berdisiplin tinggi.
Baik soal kehadirannya maupun ketepatan waktunya saat rapat. Bahkan rapatpun terkelola dengan baik. (Baca tidak bertele tele). Hanya membahas agenda rapat yang ditulis di undangan rapat.
CEO (Direktur Utama) yang orang Jepang dapat dipastikan datang sebelum jam undangan rapat. Bukan on time lagi malah in time (hadir sebelum waktunya). Dampaknya semua peserta yang notabene karyawan Indonesia tidak ada yang terlambat hadir.
Kembali ke soal toleransi versi buruh bangunan. Paling tidak ada 3 pelajaran penting yang bisa kita ambil hikmahnya :
1. Kebiasaan bisa diubah dengan paksaan
Sang tukang bangunan bisa menepati janji mulai kerja usai lebaran sesuai jadwal karena ikut orang cina. Dapat ditafsirkan bahwa sang orang cina itu menerapkan target jelas. Sesuai jadwal yang disepakati bersama dan pastinya bayaran yang jelas juga.
Tidak mungkin menuntut kerja disiplin dengan reward yang tidak disiplin sesuai jadwal. Kata paksaan sejatinya bahasa penegasan saja atas kesepakatan bersama yang sudah dibuat agar ditaati para pihak. Sebetulnya dipaksa oleh kesepakatan sendiri. Itulah poinnya kebiasaan baik harus dipaksakan sebab bila tidak kebiasaan buruk yang mejadi kebiasaan.
2. Menoleransi kebiasaan buruk sama dengan membenarkannya
Kata yang dipakai tukang bangunan yang mengatakan bahwa kalau ikut kerja orang kita (bangsa sendiri) masih ada toleransinya dapat diduga bersumber dari sifat atau perilaku budaya jawa (indonesia?) yang suka memberikan keleluasaan kepada orang lain meskipun tidak sesuai dengan janji.
Bukan hal aneh seusai lebaran para asisten rumah tangga molor waktu baliknya. Janjinya seminggu bisa jadi dua minggu baliknya. Dan biasanya hal hal seperti ini ditoleransi. Dengan macam macam argumentasi. Dampaknya sekali dibiarkan akan diulang berkali kali.
Yang sangat berbahaya adalah membiarkan suatu kesalahan terjadi sama dengan membenarkannya. Bukankah kita tahu hampir semua kesalahan besar berasal dari pembiaran terhadap kesalahan kecil?
3. Karakter yang mewujud menjadi etos kerja bermula dari kebiasaan
Pepatah kita terkenal mengatakan ulah bisa karena biasa. Awalnya tidak bisa. Namun kalau terus dicoba lama lama pasti bisa. *Kebisaan berasal dari kebiasaan*. Kebiasaan yang terus menerus dikerjakan akan membentuk karakter orang. Dan karakter lah yang kemudian terbukti membentuk kepribadian. Pribadi yang beretos kerja tinggi atau sebaliknya.
Mulailah dari kebiasaan kebiasaan kecil begitu dalam buku terkenal (atomic habits). Seperti seorang atlet berlatih. Atlet lari maraton 10 KM pasti bermula dari latihan berlari 500 meter naik menjadi 1 KM naik lagi menjadi 1.5 KM. Begitu terus berlatih jangan berhenti. Syaratnya harus ada target menaikkan kebiasaan baik. Dan jangan terlalu ambisius pengen mengubah kebiasaan dengan target ideal. Bisa patah asa.(BTL)
Tidak ada komentar