Oleh: H. J. Faisal (Pemerhati Pendidikan dan Sosial/ Sekolah Pascasarjana UIKA Bogor/ Anggota PJMI) MediaBantenCyber.co.id – (MBC) Jakarta, ‘Ribut-ribut’ masalah pencalonan Gibran RR menjadi cawapres Prabowo yang didasarkan kepada keputusan Mahkamah Keluarga….eeh…maksud saya Mahkamah Konstitusi (MK) pada tanggal 16 Oktober yang lalu, membuat saya tertawa miris saja.
Ternyata, terlihat sekali betapa masih rendahnya kualitas logika orang Indonesia dalam memahami sebuah kalimat. Termasuk juga logika dari para ketua partai politik, maupun logika dari para hakim MK, terutama ketua MK itu sendiri, ‘Pakle’ Anwar Usman.
Mengapa saya katakan demikian….?
Saya sendiri sebenarnya bukanlah seorang ahli hukum, tetapi pemikiran saya terus terganggu mengenai ajakan untuk sedikit berlogika secara sehat.
Begini, saya ingin mengajak masyarakat Indonesia untuk berlogika sedikit saja mengenai kalimat keputusan MK yang menjadikan Gibran RR dapat ‘lolos’ menjadi cawapres Prabowo Subianto, dan sedang mendaftarkan kedudukan mereka sebagai capres dan cawapres pemilihan umum 2024 ke Komisi Pemilihan Umum (KPU) hari ini, Rabu 25 Oktober 2023.
Dalam kalimat putusan MK pada tanggal 16 Oktober 2023 yang lalu tersebut, diputuskan bahwa “Batas usia calon presiden dan calon wakil presiden adalah berusia paling rendah 40 tahun atau pernah/sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilihan umum termasuk pemilihan kepala daerah”.
Hal ini menjadi keputusan hukum MK atas uji materil yang diajukan oleh Partai Solidaritas Indonesia (PSI) dalam perkara Nomor 29/PUU-XXI/2023, yang mana dalam petitumnya PSI meminta batas usia capres/cawapres diubah menjadi 35 tahun. Juga dalam perkara Nomor 51/PUU-XXI/2023 dengan pemohon Ketua Umum Partai Garuda Ahmad Ridha Sabana dan Sekretaris Jenderal DPP Partai Garuda Yohanna Murtika, dimana pemohon mengajukan frasa pada pasal yang diuji materi diubah menjadi “berusia paling rendah 40 tahun atau berpengalaman sebagai kepala daerah/wakil kepala daerah”.
Jika kita perhatikan baik-baik dalam kalimat keputusan hukum MK tersebut, dikatakan bahwa batasan usia minimal capres atau cawapres adalah 40 tahun, kemudian disandingkan dengan kalimat ‘atau pernah’, garis miring, ‘sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilihan umum termasuk pemilihan kepala daerah’.
Ini artinya, tidak ada perbedaan usia antara batasan usia capres dan cawapres dengan usia seseorang yang sedang menduduki sebuah jabatan kepala daerah, yaitu harus sama-sama berusia minimal 40 tahun jika dia ingin mendaftarkan dirinya sebagai capres atau cawapres, karena kata sambung ‘atau’ mempunyai makna kesamaan (equality), dan bukan bermakna pertentangan (conflict/paradoksial) seperti makna yang terkandung dalam kata sambung (conjunction) ‘tetapi’.
Logikanya, jika seseorang tersebut memang pernah atau sedang menduduki sebuah jabatan kepala daerah, tetapi dia ingin mendaftarkan dirinya sebagai capres atau cawapres, maka orang tersebut tetap harus mengikuti aturan pertama yang lebih kuat, yaitu minimal berusia 40 tahun.
Hal ini disebabkan karena objek utama permasalahannya adalah batasan usia, dan bukan kedudukan orang tersebut sebagai kepala daerah atau bukan. Ditambah lagi, bahwa di dalam aturan hukum positif seharusnya aturan yang pertama atau utama, tidak boleh bertentangan dengan aturan-aturan yang berikutnya yang mengikutinya, bahkan harus memperkuat nilai hukum dari aturan yang utama tersebut. Apalagi yang berhak membuat aturan hukum tersebut adalah DPR sebagai badan legislatif, dan bukan MK, yang memang tidak mempunyai kewenangan untuk membuat sebuah aturan hukum.
Jika terjadi paradoksial dalam sebuah aturan hukum, atau ketidaksamaan antar kalimat atau pasal, atau ada kerancuan makna hukum yang dihasilkan dari sebuah keputusan, maka keputusan tersebut akan mengakibatkan kebingungan masyarakat, dimana akhirnya dapat mengakibatkan ketidakpastian hukum atau cacat hukum. Maka dari itu, keputusan hukum yang bertentangan ini, seharusnya segera dianulir dan diuji materi kembali di Mahkamah Konstitusi.
Jadi, jika seseorang yang sedang menduduki jabatan kepala daerah tersebut masih berusia di bawah 40 tahun, atau di dalam kasus Gibran RR ini, dimana dia masih berusia 35 tahun, maka sebenarnya Gibran RR tidak masuk dalam kriteria peraturan ini, yang artinya dia tidak berhak untuk mengikuti kontestasi cawapres 2024 nanti.
Tetapi jika hal ini dipaksakan untuk tetap terlaksana, itu artinya ada kedangkalan logika atau pemalsuan logika para hakim MK terhadap masyarakat Indonesia dalam mengeluarkan sebuah keputusan hukum. Dan saya sendiri tidak tahu, apakah kedangkalan dan pemalsuan logika tersebut terjadi secara alamiah, atau memang dipaksakan, agar dapat membalas budi para hakim MK tersebut kepada sang Presiden Indonesia, yaitu bapaknya Gibran RR, dan juga kepada anggota DPR yang notabene berasal dari koalisi parpol pengusung pasangan Prabowo-Gibran, karena telah memilih mereka untuk menduduki jabatan hakim di MK saat ini. Wallahu’allam bisshowab.(BTL)
Tidak ada komentar