Budaya Permisivisme, Ciri Budaya Masyarakat yang ‘Sakit’

waktu baca 6 menit
Kamis, 24 Agu 2023 11:47 0 35 Redaksi

Oleh: H. J. Faisal (Pemerhati Pendidikan dan Sosial/ Sekolah Pascasarjana UIKA Bogor/ Waketum PJMI) MediaBantenCyber.co.id – (MBC) Jakarta, Kejadian kecelakaan lalu lintas yang melibatkan satu unit truk dan tujuh kendaraan sepeda motor, yang terjadi di jalan raya lenteng agung pada hari selasa pagi, tanggal 22 Agustus yang lalu, sebenarnya bukanlah yang pertama kali terjadi. Menurut banyak saksi warga yang melihat kejadian kecelakaan tersebut mengatakan bahwa sering sekali terjadi kecelakaan motor yang melawan arah di sana._________Baca Juga : Desa Gempol Sari Gelar Budaya Ngaruwat Bumi | masyarakat

Tetapi meskipun sudah sering terjadi, ternyata para pemotor yang masih melawan arah tersebut tidak kapok dan tidak mengambil pelajaran dari banyak kecelakaan yang sudah terjadi tersebut. Karena alasan ingin lebih cepat, lebih praktis, dan kemalasan, serta tidak adanya pengawasan dari aparat pengatur lalu lintas yang berwenang, seperti Polisi, maka berkendara melawan arus tersebut tetap mereka lakukan.

Selain contoh budaya ‘premanisme’ lalulintas di atas, masih banyak lagi tingkah laku masyarakat yang saat ini sudah masuk dalam budaya patologi (budaya ‘sakit’) yang sifatnya sangat permisif, khususnya patologi sosial (masyarakat yang ‘sakit’). Kebodohan, premanisme, menjadi pengendara yang membahayakan orang lain di jalan raya, penyalahgunaan narkotika, morfin, ganja, seks bebas, pornografi, LGBT, korupsi, berebut kekuasaan dengan cara saling menjelekkan dan menjatuhkan harga diri, tawuran, judi online, begal, pembunuhan, saling mencaci dan memaki di media sosial dengan bebasnya, dan lain sebagainya merupakan contoh-contoh klasik dari maraknya kejahatan yang tumbuh subur, akibat dari budaya permisivisme yang ada dan semakin berkembang di tengah masyarakat Indonesia.

Masyarakat yang seharusnya menjadi pengawas dan pengontrol sosial atas budaya masa bodoh ini, malah justru hanya diam dan bahkan ikut ‘menyetujui’ semua bentuk patologi tersebut.

Bahkan kita sudah tidak merasa terkejut lagi dengan pernyataan dari masyarakat bahwa biarlah semua kejahatan-kejahatan tersebut terjadi, yang penting bukan anak atau anggota keluarga mereka yang melakukannya. Atau yang penting para pelaku kesalahan atau kejahatan sosial tersebut tidak mengganggu diri mereka dan keluarga mereka. Akhirnya, makin lama kita bisa makin merasakan bahwasannya kesalahan-kesalahan atau kejahatan-kejahatan tersebut rasanya sudah semakin dianggap biasa, dan semakin bisa diterima oleh masyarakat sebagai sebuah ‘kebenaran’.

Secara terminologi, permisivisme berasal dari bahasa Inggris, permissive yang berarti serba membolehkan, suka mengizinkan. Sejalan dengan arti katanya, permisivisme merupakan sikap dan pandangan yang membolehkan dan mengizinkan segala-galanya. Orang yang permisivistis dalam hidup pribadinya bertindak serba bebas. Dalam hidup keseharian tidak ada keteraturan. Bangun dan pergi tidur, makan, berpakaian, dan bekerja semaunya. Tidak ada waktu pasti dan cara yang tetap. Dalam pergaulan, orang ini akan berperilaku seolah-olah tidak ada kebiasaan, adat dan adab sopan-santun. Dalam masyarakat ia bertindak seakan-akan tidak ada peraturan, hukum dan perundangan.

Semua hal tersebut dilakukan dengan ringan, tanpa beban, dan tanpa takut sanksi. Bila dijatuhi hukuman, orang permisif akan menerima dengan gaya tak peduli dan tidak jarang dianggapnya lucu.

Dia akan beralasan bahwa kegiatan permisif nya dilakukan karena orang lain juga melakukannya. Hal tersebut persis seperti sebuah kata bijak, yaitu suatu kebodohan atau tindakan bodoh yang dilakukan oleh seseorang yang bodoh, biasanya dilakukan atas dasar contoh kebodohan pula.

Jika memang demikian, sebenarnya apakah penyebab budaya permisivisme tersebut dapat terjadi di dalam sebuah komunitas masyarakat? Dan mengapa komunitas masyarakat yang ‘sakit’ tersebut sangat sulit sekali untuk merubah kebiasaan salah mereka, dan bahkan ikut menerima kesalahan-kesalahan tersebut sebagai hal biasa yang sudah lumrah terjadi?

Pertama, dilansir dari Sindonews.com (2018), menurut Prof. Dr. Faisal Ismai, seorang Guru Besar dari Universitas Islam Indonesia Yogyakarta, mengatakan bahwa budaya permisif atau budaya serba boleh ini muncul karena lemahnya pemahaman masyarakat tentang agama dan nilai-nilai adab yang terkandung di dalamnya. Kuatnya pengaruh budaya sekuler yang serba bebas yang dianut oleh sistem kehidupan di Barat, telah mengikis nilai-nilai keteraturan yang ada dalam Masyarakat Indonesia. Masyarakat sudah tidak peduli bahwa yang dia lakukan itu salah, dan meskipun bertentangan dengan nilai-nilai akhlak, dan bertentangan dengan hukum-hukum positif atau aturan negara, yang penting keinginan dan hajatnya bisa tercapai.

Kedua, menurut ahli ilmu politik, Prof. Husnul Maria (ic the real show channel), lahirnya budaya permisivisme ini dikarenakan contoh yang dilihat oleh masyarakat dari para pemimpin mereka sendiri, termasuk contoh dari para penegak hukum itu sendiri.

Kalau yang dicontohkan oleh pemimpin masyarakat dan penegak hukumnya dari level bawah sampai level kenegaraannya baik, maka masyarakat atau warga negara akan baik pula. Demikian juga sebaliknya, jika pemimpin masyarakat dan para penegak hukumnya, dari level bawah sampai level kenegaraannya bersifat permissif, maka masyarakat atau warga negaranya akan bersifat lebih masa bodoh lagi.

Selain dari faktor agama dan faktor keteladanan yang diungkapkan oleh kedua pakar di atas tadi, ternyata ada sebuah penelitian pada tahun 1977 yang diteliti di Temple University oleh Dr. Lynn Hasher, dimana penelitian tersebut menghasilkan sebuah teori yang dinamakan Illusory truth effect atau disebut dengan efek kebenaran ilusi.

Ilusi ini sesungguhnya merupakan sebuah fenomena bahwa kebohongan, kesalahan atau bahkan kejahatan yang diungkapkan dan dilakukan secara terus menerus atau disebarluaskan kepada orang lain, maka lama kelamaan, akan diterima menjadi sebuah ‘kebenaran’ baru, sehingga masyarakat secara luas menjadi yakin dengan ‘kebenaran’ tersebut.

Dr. Lynn menyimpulkan, bahwa ketika seseorang mendapatkan sebuah isu atau sebuah kejadian, maka seseorang tersebut akan mempercayai kejadian tersebut dengan cara yang paling sering dia percaya untuk mengambil sebuah keputusan.

Mekanisme ini berfungsi karena adanya implicit memory yang mana seseorang tersebut menganggap bahwa kejadian yang telah mereka lihat sebelumnya dianggap sebagai sebuah kebenaran, meskipun itu adalah sebuah kesalahan.

Dengan demikian, maka jika masyarakat sudah mulai menerima kesalahan sebagai sebuah ‘kebenaran’, dan kejahatan sebagai sesuatu hal yang biasa-biasa saja, dan budaya hidup permissif semakin mendarah daging, maka akan ada efek domino sosial yang akan muncul sebagai akibat atau konsekuensi yang akan diterima oleh masyarakat yang ‘sakit’ tersebut.

Efek domino tersebut akan dimulai dengan semakin banyaknya kekacauan atau clash di dalam komunitas masyarakat yang permisif tersebut. Dari kekacauan tersebut, maka kejahatan akan dilakukan secara terang-terangan. Dan jika kejahatan sudah dilakukan secara terang-terangan, karena tidak adanya rasa malu lagi, maka Allah Ta’alla akan mencabut keberkahan-Nya, dan jika Allah Ta’alla telah mencabut keberkahan-Nya, maka artinya peradaban masyarakat tersebut telah hilang (The Lost Civilized Society).

Sebagai penutup, menurut hemat saya, meskipun saat ini, kesalahan-kesalahan tersebut telah menjadi sesuatu yang ‘diterima secara wajar’ oleh masyarakat, yang pasti pemberian sanksi hukum dan supremasinya harus tetap ditegakkan oleh aparat yang berwenang. Kesalahan tetaplah menjadi sebuah kesalahan dan kejahatan tetaplah menjadi sebuah kejahatan yang harus menerima hukuman. Kepastian dalam hukum akan menjamin ketenangan kehidupan sebuah negara yang beradab, pastinya.

Mengapa demikian? Karena dapat dipastikan, bahwasannya hukum tidak akan pernah dapat ditegakkan dengan tegas dan maksimal, serta berkeadilan, di dalam sebuah negara yang memang tidak beradab (baca: bi adab).

One of the saddest lessons of history is this: If we’ve been bamboozled long enough, we tend to reject any evidence of the bamboozle. We’re no longer interested in finding out the truth. The bamboozle has captured us. It’s simply too painful to acknowledge, even to ourselves, that we’ve been taken. Once you give a charlatan power over you, you almost never get it back “.(BTL)

Tidak ada komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Unggulan

LAINNYA
Open chat
Hello
Can we help you?