Larangan Menikah Berbeda Agama dalam Perspektif Islam

waktu baca 6 menit
Selasa, 26 Nov 2024 09:52 0 222 admin22
MediaBantenCyber.co.id – (MBC) BANTEN, Masih  banyak di negara indonesia kejadian- kejadian pernikahan yang berbeda agama, banyak ditemui di negara kita tercinta, pada dasarnya pernikahan berbeda agama dalam agama islam tidak diperbolehkan, memang banyak pernikahan berbeda agama itu terjadi di luar lingkup agama islam, sebagai contohnya agama kristen protestan, yang memperbolehkan menikah berbeda agama.

Dalam agama islam sendiripun pernikahan berbeda agama itu sudah jelas tidak diperbolehkan dan banyak para ulama ulama mengatakan menikah berbeda agama itu dilarang, dikarenakan para ulama sudah bersepakat pernikahan berbeda agama itu dilarang dan dalam agama islam pun memandang pernikahan itu adalah kunci kebahagiaan manusia, jika menikah berbeda agama dapat menimbulkan beberapa dampak negatif, seperti ketidaknyamanan dalam berkeluarga, akan muncul permasalahan-permasalahan dalam beribadah di dalam berkeluarga, dan terputusnya hubungan nasabnya.

Selain itu juga agama islam melarang pernikahan antar berbeda agama bahwa dalam Al Qur’an pun sudah dijelaskan dalam surat Al- Baqarah ayat 221 dan didalam hadits pun sudah ditegaskan tentang larangan menikah berbeda agama, dalam Al-Quran surah Al-Baqarah ayat 211 di jelaskan:

Artinya : Dan janganlah kamu menikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik dari wanita musyrik, walaupun dia menarik hatimu. Dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mukmin) sebelum mereka beriman

 

Makna dalam ayat tersebut sudah jelas bahwa laki laki muslim dilarang untuk menikahi perempuan musyrik (berbeda agama), bahkan dalam ayat tersebut laki laki beriman lebih baik menikah dengan perempuan yang tidak punya apa apa atau seorang perempuan yang miskin bahkan lebih mulia jika menikah dengan seorang budak jika perempuan itu seorang muslimah, begitupun sebaliknya seorang perempuan harus menikah dengan seorang laki-laki yang muslim. Dan Rasulullah pun sudah menegaskan larangan menikah berbeda agama :

                                                                   تُنْكَحُ الْمَرْأَةُ لِأَرْبَعِ لِمَالِهَا, وَلِنَسَبِهَا, وَلِجَمَالِهَا, وَلِدِيْنِهَا. فَاظْفَرْ
بِذَاتِ الدِّيْنِ تَرِبَتْ يَدَاكَ

Artinya : Wanita itu (boleh) dinikahi karena empat hal: (1) karena hartanya, (2) karena (asal-usul) keturunan nya, (3) karena kecantikannya, (4) karena agamanya. Maka hendaklah kamu berpegang teguh (dengan wanita) yang memeluk agama Islam; (jika tidak), akan binasalah kedua tanganmu.

Dari ke dua dalil tersebut sudah jelas bahwa menikah berbeda agam itu dilarang, dan makna dalam hadits tersebut pun yang berkaitan dengan menikah berbeda agama jika menikahi perempuan bisa dilihat dari hartanya, nasabnya, paras wajahnya, dan yang paling penting itu dari agamanya, bahkan bukan hanya dalam agama sekalipun yang melarang menikah berbeda agama tetapi dalam negara indonesia pun melarang menikah berbeda agama, dalam indonesia pun sudah tertera dalam Undang Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan pasal 2 ayat (1) disebutkan Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu. Dan fatwa dari MUI 4/2005 menegaskan perkawinan beda agama adalah haram dan tidak sah.

Dan pendapat para ulama pun berbeda beda tentang menikah beda agama antara lain

A. Mazhab Hanafi Imam Abu Hanifah berpendapat tentang perkawinan antar beda agama terdiri dari dua hal. Yaitu :
 1) Perkawinan antara pria muslim dengan wanita non muslim (musyrik) hukumnya adalah haram mutlak.
 2) Perkawinan antara pria muslim dengan wanita ahlu al-kitab (Yahudi dan Nasrani), hukumnya mubah (boleh).

11. Menurut mazhab Hanafi yang dimaksud dengan ahlu al-kitab adalah siapa saja yang mempercayai seorang Nabi dan kitab yang pernah diturunkan Allah SWT, termasuk juga orang yang percaya kepada Nabi Ibrahim As dan Suhuf nya dan orang yang percaya kepada nabi Musa AS dan kitab Zabur nya, maka wanitanya boleh dikawini.

12. Bahkan menurut mazhab ini mengawini wanita ahlu al-kitab dzimmi atau wanita kitabiyah yang ada di Daaral-Harbi boleh hukumnya. 3) Menurut mazhab ini, perkawinan dengan wanita kitabiyah yang ada di Daar al-Harbi hukumnya makruh tahrim, karena akan membuka pintu fitnah, dan mengandung mafasid (kerusakan-kerusakan) yang besar. 4) Perkawinan dengan wanita ahlu al-kitab zimmi hukumnya makruh tanzih, alasan mereka adalah karena wanita ahlu al-kitab dzimmi ini menghalalkan minuman arak dan menghalalkan daging babi.

13. b. Mazhab Maliki Mazhab Maliki berpendapat bahwa perkawinan beda agama mempunyai dua pendapat yaitu:

1) Menikah dengan kitabiyah hukumnya makruh baik dzimmiyah (wanita-wanita non muslim yang berada di wilayah atau negeri yang tunduk pada hukum Islam) maupun harbiyah, namun makruh menikahi wanita harbiyah lebih besar (Ibnu Abdil Barr, t.th: 543). Akan tetapi jika dikhawatirkan bahwa si isteri yang kitabiyah ini akan mempengaruhi anak-anaknya dan meninggalkan agama ayahnya, maka hukumnya haram.

2) Menikah dengan kitabiyah hukumnya boleh karena ayat tersebut tidak melarang secara mutlak. Metodologi berpikir mazhab Maliki ini menggunakan pendekatan Sad al-Zarai’ (menutup jalan yang mengarah kepada kemafsadatan). Jika dikhawatirkan kemafsadatan yang akan muncul dalam perkawinan beda agama, maka diharamkan.

14. c. Mazhab Syafi’i Mazhab Syafi’i berpendapat bahwa perkawinan beda agama adalah boleh Yaitu menikahi wanita ahlu al-kitab. Akan tetapi termasuk golongan wanita ahlu al-kitab menurut mazhab Syafi’i adalah wanita-wanita Yahudi dan Nasrani keturunan orang-orang bangsa Israel dan tidak termasuk bangsa lainnya, sekalipun termasuk penganut Yahudi dan Nasrani.

15. Alasan yang dikemukakan mazhab ini adalah: 1) Karena Nabi Musa AS dan Nabi Isa AS hanya diutus untuk bangsa Israel, dan bukan bangsa lainnya. 2) Lafal min qoblikum (umat sebelum kamu) pada surat Al-Maidah ayat 5 menunjukkan kepada dua kelompok golongan Yahudi dan Nasrani bangsa Israel.Menurut mazhab ini yang termasuk Yahudi dan Nasrani adalah wanita-wanita yang menganut agama tersebut sejak Nabi Muhammad sebelum diutus menjadi Rasul, yaitu semenjak sebelum Al-Qur’an diturunkan, tegasnya orang-orang yang menganut Yahudi dan Nasran sesudah Al-Qur’an diturunkan tidak termasuk Yahudi dan Nasrani

Kategori

d. Mazhab Hambali.

Mazhab Hambali mengemukakan bahwa perkawinan beda agama haram apabila wanita-wanita musyrik, akan tetapi boleh menikahi wanita Yahudi dan Nasrani. Mazhab ini lebih cenderung mendukung pendapat Imam Syafi’i. Tetapi mazhab Hambali tidak membatasi tentang ahlul kitab, menurut pendapat mazhab ini bahwa yang termasuk ahlul-kitab adalah yang menganut agama Yahudi dan Nasrani sejak saat Nabi Muhammad belum diutus menjadi Rasul.

Peraturan perundangan yang berlaku di Indonesia tidak menyediakan aturan yang membolehkan pernikahan beda agama. Para ulama sepakat menyatakan bahwa pernikahan dengan orang musyrik haram beda agama adalah haram. Menikahi wanita Ahl al-Kitab bagi pria muslim terdapat dua pandangan ulama, pertama, halal hukumnya, jika wanita Ahl al-Kitab adalah wanita-wanita yang merdeka dan menjaga kehormatan dirinya (tidak berzina). (red)

Oleh: Nikho Naufal Syafiq
Mahasiswa universitas Maulana Hasanuddin Banten (komunikasi penyiaran Islam) Lahir: Pati, 20 November 2005. Alamat: Perum Puri Asih, Blok G No 22 RT 003/005, Desa Suka Asih, Kecamatan Pasar Kemis, Tangerang, Banten.

DAFTAR PUSTAKA 

10 M. Ali al-Shabuniy, Tafsir Ayat Ahkam, terj (Semarang: Pustaka Rizki Putra,.1991), 205 11 Muhammad Bin Ali Bin Muhammad As-Syaukani, Fathu al-Qadir al-Jami’ Baina Fannai alRiwayah wa al-Dirayah Min ‘Ilmi al-Tafsir (Beirut: Darul Ma’rifah, 1428 H / 2007 M), juz III, 228 12 Sihabuddin bin Muhammad as-Shna’ni, Bada’i Ash-Shana’i (Lebanon: Darul Ma’arif Arabiyah, t.th), Juz II, 270

13 Az-Zailaiy, Tabyin Al-Haqaiq Syarh Kanzu Ad-Daqaiq (Beirut: Daar Al-Ma’rifah, t.th), Juz II, 109

14 Ibnu Rusdy, Bidayatul Mujtahid wa Nihayatu al-Muqtashid (Beirut: Maktabah Ilmiyah, t.th), ju

15 Muhammad Syamsuddin bin Ahmad Al-Khotib Asy-Syarbini, Mughni Al-muhtaj (Beirut – Lebanon: Darul Ma’rifat, 1997 M), Juz III, 187

16 Badruddin bin Abi Muhammad al-Nawawi, Raudhah Ath-Thalibin (Cairo: Darul Maarif, 1327 H), Juz VII, 132 17 Taqwiyudin Ibnu Najjar, Syarh Muntaha Al-Iradaat (Lebanon, Maktabah Aalamiyah, 1276 H), Juz III.

Tidak ada komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Unggulan

Terbaru
LAINNYA
Open chat
Hello
Can we help you?