Banyak Perusahaan Besar MENGEMPLANG PAJAK, Tax Ratio Indonesia Terendah di ASEAN

MediaBantenCyber.co.id (MBC) Jakarta, Pungutan perpajakan merupakan salah satu sumber utama penerimaan negara dalam APBN yang angkanya bisa di atas 80% dari total penerimaan negara. Secara nominal, dari tahun ke tahun jumlah penerimaan pajak senantiasa meningkat namun realisasinya juga cenderung meleset dari target.____________Baca Juga : Ngakunya Perusahaan Besar Go Publik Bikin Bangunan Gak Pakai IMB, DISEGEL !!

Tahun 2018, misalnya, realisasi Rp1.315,9 triliun atau hanya 92% dari target Rp1.424 triliun. Tahun 2019, tercapai Rp1.332,1 triliun atau hanya 84,4% dari target Rp1.577,6 triliun. Rapor merah kembali dicatatkan Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan di 2020 dengan penerimaan pajak hanya sebesar Rp1.069,98 triliun dari target Rp1.198,82 triliun.

Setelah setidaknya 12 tahun tak bisa capai target, penerimaan pajak di 2021 akhirnya tembus 100% dari target yaitu mencapai Rp1.277,5 triliun. Angka itu setara 103,9% dari target APBN 2021 sebesar Rp1.229,6 triliun.

Dari sisi rasio pajak (tax ratio) yaitu perbandingan antara penerimaan pajak terhadap pendapatan nasional atau produk domestik bruto (PDB), masih di bawah standar yang Negara-Negara ASEAN sebesar 15%. Tax ratio tahun 2021 mencapai 9,11% atau meningkat dari tahun 2020 sebesar 8,33% PDB.

Baca Juga : Contoh Tidak Baik Bagi Masyarakat Kota Tangsel, Perusahaan Besar Sekelas STARBUCKS Dibangun TANPA IZIN PBG/IMB di Graha Raya

Dari sisi itu, pengamat ekonomi politik dan founder Gerakan KJP (Konsumen Jadi Produsen), Andy Azisi Amin, melihat terjadi anomali dalam ekonomi Indonesia terutama dalam hal rasio sumbangan pajak terhadap PDB (gross domestic product/GDP). Secara teoritis ekonomi, ujarnya, jika tax ratio rendah mestinya utang tidak terlalu tinggi. Sementara yang terjadi saat ini utang memegang rekor tertinggi sejak Indonesia berdiri.

“Berdasarkan data dari Kementerian Keuangan, utang pemerintah hingga Maret 2022 mencapai lebih dari Rp7.000 triliun, tepatnya Rp7.052,5 Triliun. Ini tertinggi dalam sejarah,” kata Andy dalam keterangannya kepada media, Kamis (07/07/2022).

Pegiat usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) ini menyebut permasalahan tersebut disebabkan oleh ketidakpatuhan orang/badan hukum di Indonesia untuk membayar pajak. Andy merujuk ke laporan Bank Pembangunan Asia (ADB) edisi Desember tahun 2021.

Baca Juga : Polres Jakbar Gerebek Gudang Perusahaan SERAKAH Penimbun Obat-obatan Covid-19

“Laporan itu menunjukkan adanya realitas banyak pengemplang pajak terutama perusahaan – perusahaan besar yang berakibat tax to GDP ratio Indonesia menjadi yang paling rendah di ASEAN. Bahkan, Indonesia kalah dengan Timor Leste,” ujarnya.

“Dalam laporan ADB di atas, sambungnya, bila dibandingkan dengan rata-rata tax to GDP ratio ASEAN dengan angka sekitar 15%, Indonesia dengan angka rata-rata sekitar 10% masih jauh tertinggal,” kata Alumni University of Illinois, Amerika Serikat, tersebut.

Lebih jauh, sambungnya, jika dibandingkan dengan negara Asia Pasifik malah lebih parah lagi. ”Indonesia juga jauh tertinggal dengan angka rata-rata negara-negara di Asia Pasifik dengan tax ratio to GDP sekitar 20%,” ujarnya.

Ia kemudian membandingkan dengan ngara-negara maju dengan rata-rata tax ratio to GDP sekitar 35%. Angka 35% itulah yang menjadi salah satu dasar negara-negara maju masih dianggap wajar berutang sampai tingkat rasio utang terhadap GDP sekitar 60% atau dua kali dari tax ratio to GDP. Hal itu karena kemampuan negara-negara tersebut menghasilkan uang sekitar 35% dari GDP.

Baca Juga : Warga Curug Kota Serang Tetap Minta Tutup Semua Perusahaan Peternakan Ayam Ilegal Di Wilayahnya

“Ratio inilah yg merupakan kapasitas suatu negara sesungguhnya untuk menghasilkan uang dan bukan GDP, karena GDP tidak berupa uang. GDP hanya berupa proxy saja terkait potensi suatu negara untuk menghasilkan uang,” katanya.

Andy menegaskan bentuk konkret kapasitas negara menghasilkan uang adalah dengan tax ratio to GDP. Hal itu karena pembayaran utang harus dengan uang (tax ratio), bukan dengan potensi uang (GDP) yg mungkin diperoleh oleh suatu negara. Karenanya seharusnya kemampuan negara berutang untuk melakukan kegiatan-kegitan produktif yang akan menghasilkan peningkatan pendapatan per kapita dikaitkan dengan tax ratio to GDP, bukan sekadar GDP.

Acuan itu dilakukan oleh negara maju dalam menentukan batas kewajaran berutang. Dengan Tax ratio sekitar 35%, batas kewajaran berhutang negara maju sekitar 60% dari GDP.

Menurutnya, di negara ini hal itu malah jadi runyam. Dengan kemampuan tax to GDP ratio sekitar hanya 10%, Indonesia ingin berutang seperti negara-negara maju sampai sekitar 60% dari GDP. “Inilah awal dari kerusakan ekonomi kita,” tegas Andy.

Baca Juga : Perusahaan Cowell Development Tbk 7 Tahun PHP-in, Customer Akhirnya Ngadu Ke DPRD Kota Tangsel

Akibat hal itu, ia menilai APBN menjadi bobol. Indonesia harus berutang lagi hanya untuk membayar bunga utang.

“Sehingga terjadilah ungkapan yang kerap kita dengar kita harus menggali lubang yang lebih dalam lagi untuk menutup lubang utang sebelumnya. Kondisi itu tercermin dalam APBN Indonesia berupa peningkatan utang tiap tahun. Periode 2014-2022 adalah rekor jumlah utang tertinggi yang dimiliki Indonesia sejak merdeka,” tandas Andy.(BTL)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Open chat
Hello
Can we help you?
.