MOMENTUM AMIN

Oleh: Dr. Hery Kustanto, M.M, (Aktivis Muslim di Kota Tangsel) MediaBantenCyber.co.id – (MBC) Kota Tangerang Selatan, Pasangan capres Anies Muhaimin (AMIN) adalah pasangan ideal bagi aktivis muslim saat ini. Bila dibandingkan 2 capres lainnya. Dari mana melihatnya? Tentu dari latar belakang aktivitasnya sejak muda. Anies aktivis HMI (ormas mahasiswa muslim modern yang dikonotasikan lebih dekat dengan Muhammadiyah) dan juga Ketua Senat mahasiswa UGM. Muhaimin Iskandar berpengalaman sebagai Ketua PMII (ormas mahasiswanya NU). Ganjar pernah menjadi Ketua GMNI (ormas mahasiswanya PNI).

Sementara Prabowo basis latar belakangnya sejak muda adalah tentara. Jelas sekali Ganjar dan Prabowo bukanlah kader aktivis muslim dalam arti yang sesungguhnya.

Kehadiran AMIN dalam konstalasi pilpres 2024 seolah ada campur tangan Tuhan yang bisa menyatukan 2 potensi besar umat dan bangsa; dua kader top yang bisa dikatakan merepresentasikan darah muslim modernis dan muslim tradisional. Keduanya seolah mewakili 2 ormas besar di tanah air yang sangat berjasa mendirikan republik ini, yakni Muhammadiyah (berdiri 1912) dan NU (berdiri 1926). Namun kedua ormas ini sering tak sejalan dalam kancah politik nasional.

Secara resmi tentu saja dua ormas besar tersebut menyatakan tidak akan terlibat langsung dalam politik praktis. Tapi bagi mereka yang cerdas pernyataan tidak terlibat sejatinya bisa bermakna bersayap: terlibat juga tapi dengan cara lain. Diksi yang dipilih Pimpinan Pusat Muhammadiyah dan Pengurus Besar NU substansinya sama: kedua ormas itu menjaga jarak yang sama dengan semua parpol. Berkiprah dalam politik kebangsaan. Politik adiluhung. High politics. Begitulah kira kira bahasa indahnya.

Prakteknya? PP Muhammadiyah dan PBNU itu struktural. Yang non struktural bisa jalan sendiri. Mereka juga berhak memilih opsi sesuai pilihan hati. Apalagi cuma anggota atau simpatisan biasa. Tidak dilarang. Bahkan tidak bisa dilarang. Itu HAM. Namanya juga ormas. Pilihan beda antara ketua dan anggota apalagi simpatisan jelas jamak saja.

Di kalangan kader Muhammadiyah bisa dikatakan sebagian besarnya adalah die hard nya AMIN. Warga Muhammadiyah memiliki kesan atau persepsi dianaktirikan di rezim ini. Bahkan di Muktamar Muhammadiyah lahir rekomendasi penolakan terhadap Rezimisasi paham keagamaan. Yang notabene jelas terlihat rezim kini terlalu “menganakemaskan” NU. Preferensi warga Muhammadiyah memilih AMIN bisa dilacak dari percakapan di grup-grup wa mereka. Tentu yang mainstream maksudnya. Mungkin saja ada yang beda tapi tidak terlalu berani bersuara.  Bagaimana dengan kader-kader NU? Bukankah Cak Imin lebih cetho welo welo (kelihatan banget) sebagai Ketua Umum PKB yang notabene jelas jelas partainya Nahdiyin yang berarti kader NU? Bukankah kader NU akan menjadi orang nomor dua lagi di negeri ini kalau nanti AMIN menang? Dibandingkan dengan Anies yang sepertinya tidak pernah sama sekali menyebut dan disebut kader Muhammadiyah?

NU selalu memiliki sisi menarik dalam konteks perpolitikan nasional. Mengapa? Salah satu poin penting diantara penyebabnya adalah banyaknya kader NU yang memiliki syahwat politik sangat besar dengan berbagai kepentingan. Ditambah klaim kuantitas jamaah Nahdiyin yang besar yang bisa di utilisasi oleh siapapun asal bisa disebut tokoh Nahdiyin.

Masih ingat tokoh yang mendukung dan sekaligus menjadi ketua panitia acara megah dengan biaya ratusan milyar pada pagelaran seabad NU di Sidoarjo? ET lah the man behind the gun nya (orang di belakang layar). Pasca acara Erick Tohir bisa langsung mengklaim atau diklaim sebagai tokoh NU walaupun belum fasih melafadzkan wallahul muafiq ila aqwomit toriq sebagai kalimat penutup wajib sambutan di NU.

Ada yang menduga ET by design oleh rezim penguasa memang didapuk menjadi ketua panitia di acara seabad NU untuk memuluskan rencana memunculkannya sebagai bacawapres yang merepresentasikan NU. Meskipun sampai kini belum jelas nasibnya.

Bagi aktivis Muhammadiyah dan NU sejatinya inilah saatnya merajut momentum kebersamaan. Dua kader topnya tampil di kompetisi puncak kepemimpinan negeri ini. Namun sepertinya belum ada inisiasi kuat dari kader kedua ormas yang muncul. Dapat diduga kepentingan politik praktis dan pragmatis dari masing masing yang membuat mereka seperti gamang mengoptimalkan potensi kemenangan AMIN. Atau belum? Menunggu kejelasan benar benar AMIN bisa menang? Seharusnya tampilnya 2 kader top HMI dan PMII itu bisa dimaknai tidak hanya pragmatis jangka pendek tapi juga jangka panjang dalam kaitannya dengan proses pengkaderan kepemimpinan ormas Islam. Dalam kontestasi pilpres 2024 nanti sangat bisa AMIN menang atau sebaliknya. Bukankah sangat wajar sebuah proses alamiah ini harus terjadi. Namun paling tidak stigma selama ini bahwa calon RI 1 biasanya berasal dari kelompok nasionalis atau TNI terpatahkan.

Yang pasti bahwa ormas mahasiswa Islam baik yang dikonotasikan modernis (HMI) maupun yang dikonotasikan tradisionalis (PMII) telah melahirkan tokohnya yang layak menjadi pemimpin negeri ini. Bukankah pesan ini akan menciptakan optimisme di masa depan bagi munculnya kader kader ormas Islam yang tidak hanya layak tapi juga sangat layak dan berhak menjadi orang nomor satu di negeri ini. Allahu A’lam bishowab.(BTL)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Open chat
Hello
Can we help you?
.