Menpan RB: Birokrat Jadi Mafia Tanah, Akan Ditindak

MediaBantenCyber.co.id – (MBC) Jakarta, Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Republik Indonesia (Menpan RB) Tjahyo Kumolo, Rabu (15/07/2020) siang, menggelar pertemuan dengan Forum Korban Mafia Tanah Indonesia (FKMTI). Pertemuan tersebut terkait belum tuntasnya penyelesaian sejumlah kasus Perampasan Tanah yang diduga sengaja DIHAMBAT oleh oknum – oknum Birokrasi di ATR/BPN, Walikota, Kecamatan, dan juga di Kelurahan. Padahal, Presiden Jokowi telah memerintahkan agar persoalan tanah antara rakyat dengan negara, BUMN, dan swasta untuk SEGERA diselesaikan. Tujuannya jelas agar rakyat mendapatkan keadilan.

Dalam pertemuan tersebut, Tjahyo Kumolo menyatakan pihak Kementerian akan menindak oknum Birokrat jika terbukti mempersulit urusan rakyat untuk memperoleh keadilan.

“Kementerian PAN/RB tidak mengurus konflik tanah, tetapi punya kewenangan untuk menertibkan oknum aparat Birokrasi yang mempersulit rakyat,” tandas Menpan RB.

Sementara itu, Ketua Dewan Penasihat FKMTI yang juga Mantan Staf Ahli KSP Bambang Suryadi menjelaskan bahwa Presiden Joko Widodo  telah menerbitkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 17 Tahun 2020 tentang perubahan atas PP Nomor 11 Tahun 2017 tentang Manajemen Pegawai Negeri Sipil (PNS). Melalui aturan tersebut, presiden dapat menarik kewenangan pejabat negara dalam mengangkat, memindahkan, dan memberhentikan PNS.

“Presiden selaku pemegang kekuasaan tertinggi pembinaan PNS berwenang menetapkan pengangkatan, pemindahan, dan pemberhentian PNS, bunyi pasal 3 ayat 1. Dasar hukum ini bisa digunakan untuk memecat Birokrat baik itu di BPN dan juga di instansi lainnya yang jadi beking Mafia Tanah,” tegas Bambang.

Di tempat yang sama, Ketua FKMTI Budi Kendi menjelaskan bahwa FKMTI berfokus pada perampasan tanah yang dilakukan oleh Kongkalikong perbuatan jahat oknum pejabat pada Birokrasi di berbagai instansi pemerintah termasuk di BPN dengan pihak penguasaha. FKMTI berharap Kementerian PAN/RB bisa bekerjasama seperti yang sudah dilakukan FKMTI dengan Tim Saber Pungli Kemenkopolhukam. 

FKMTI dapat memberikan data – data yang valid dan terstruktur dari para korban perampasan tanah yang dipermainkan oleh oknum Birokrasi kepada Kementerian PAN/RB. Sebab, data yang kurang valid dan tidak terstruktur sering dijadikan dalih oknum Birokrat untuk memperlambat proses penyelesaian kasus  perampasan tanah.

Ketua FKMTI Budi Kendi mengungkapkan kasus perampasan tanah marak terjadi karena negara tidak menjalankan UU Agraria No 5/60  dan PP No 10/61. Padahal, kedua peraturan tersebut sangat berpihak kepada rakyat untuk melegitimasi tanah yang mereka miliki sesuai dengan amanah Pancasila dan UUD 45. Sayangnya, rezim Orde Baru justru menerbitkan PP 24/97 yang justru mengakomodasi kepentingan Mafia perampas Tanah rakyat.

“Penguasa negara pasca reformasi seharusnya mencabut PP No 24/97 yang bertentangan dengan UU Agraria yang sudah sesuai dengan UUD 45 dan Pancasila. Oknum BPN sering berlindung dibalik PP ini meski sebetulnya sudah tahu mereka salah menerbitkan SHGB di atas tanah SHM, Girik milik rakyat yang tidak mereka jual kepada pengembang tersebut tetapi dikuasai tanpa membeli. Pengembang hanya bermodal SHGB dan dinyatakan sebagai pembeli beritikad baik, tanah hasil rampasan menjadi seolah – olah legal. Padahal jika ditanya warkah asal – usul HGB tersebut, Pihak BPN sering berkilah bahwa warkah belum atau tidak ditemukan,” tuturnya.

Budi menambahkan kisruh perampasan tanah juga disebabkan oleh kewenangan Departemen Keuangan dan Departemen Dalam Negeri dipangkas dalam urusan pertanahan sejak tahun 1993. 

“Banyak kasus perampasan tanah terjadi pada awal tahun 90-an. Saat itu surat Ipeda, salinan letter diserahkan ke BPN. Jadi banyak tanah rakyat yang dikuasai pihak pengembang, perkebunan dan lain – lain,” tambahnya.

Sedangkan Sekjen FKMTI Agus Muldya Natakusumah mengungkapkan sejumlah kasus perampasan tanah memiliki modus yang sama. Mafia perampas tanah tidak pernah membeli lahan dari pemilik tetapi menguasai secara fisik dulu tanah tersebut. Agus menjelaskan beberapa  kasus perampasan tanah yang dialami Robert Sudjasmin dan Rusli Wahyudi, Nugroho, Samiun dan para transmigran terjadi pada awal tahun 90-an.

“Pak Robert jelas beli tanah SHM dari lelang negara tahun 90. Sebelum dilelang sudah diverifikasi BPN bahwa tanah tersebut clear and clean. Tetapi dikuasai secara fisik oleh Summarecon. Pengadilan memutuskan pak robert bukan pemenang lelang No 388. Atas dasar itu BPN juga yang batalkan SHM pak robert. Padahal nomor lelang Pak Robert adalah Nompr 338. Selain itu, letak objek tanah summarecon juga berbeda kelurahan. Tanah yang dibeli Pak Robert berada di Pegangsaan sedangkan tanah Summarecon di Petukangan. Banyak kejanggalan tapi masih dibela oleh oknum pejabat BPN,” ungkapnya.

Agus Mudya Natakusumah menegaskan jika negara membiarkan perampasan tanah terus terjadi maka ini sudah melanggar Pancasila dan juga UUD 45. Yang dialami oleh anggota FKMTI perampasan tanah jelas melegitimasi tanah yang mereka miliki sesuai dengan amanah Pancasila dan UUD 45. Sebaliknya pemerintah menerbitkan PP 24/97 yang justru mengakomodasi kepentingan Mafia Perampas Tanah rakyat.

Contoh lain, kasus perampasan tanah yang dialami Robert Sudjasmin dan Rusli Wahyudi, Nugroho, Samiun dan para transmigran terjadi pada awal tahun 90-an.

“Pak Robert jelas beli tanah SHM dari lelang negara tahun 90. Sebelum dilelang sudah diverifikasi BPN tanah tersebut clear and clean. Sudah diverifikasi juga oleh tim Gubernur DKI, surat dari Setwapres Megawati, Budiono dan KemenPAn, Tetapi diambil oleh pengembang Summarecon setelah sidang yang memutuskan Pak Robert bukan pemenang lelang No 388. Atas dasar itu BPN juga yang membatalkan SHM Pak Robert.

Padahal nomor lelang Pak Robert adalah No 338. Selain itu, letak objek tanah pengembang Summarecon juga BERBEDA Kelurahan. Tanah yang dibeli Pak Robert berada di Pegangsaan sedangkan tanah milik pengembang Summarecon berada di Petukangan. Banyak kejanggalan tapi masih saja dibela oleh oknum pejabat BPN,” ungkapnya.

Agus menambahkan modus perampasan tanah juga dialami Rusli Wahyudi. Pada saat tanahnya seluas 2.5 ha, sedang dalam status sita jamin dan sudah dilakukan dengan prosedur bersama BPN tetapi Giriknya bisa masuk kedalam SHGB pengembang yang dikeluarkan oleh BPN Kabupaten Tanggerang ketika itu. 

“Yang menarik adalah ketika Komisi informasi Publik (KIP) Banten melakukan pemeriksaan setempat, ternyata tidak tercatat transaksi jual beli Girik yang dibeli Rusli Wahyudi dari The Kim Tin pemilik awalnya di kantor Kecamatan Serpong. Tetapi bisa terbit SHGB di atas tanah tersebut,” ujarnya.

Kejadian serupa juga menimpa Anie Sri Cahyani.Tanah SHM miliknya di kawasan Bintaro sudah dijaminkan ke bank tetapi  masih bisa ditindih oleh SHGB pengembang Jaya Properti yang diterbitkan oleh BPN. 

“Tanah Bu Ani diincar dan akhirnya dirampas oleh pengembang dengan HGB yang diterbitkan oleh BPN. Padahal Irjen BPN sudah meneliti, bahwa tanah tersebut adalah SAH milik Bu Ani,” ujarnya.

Agus menjelaskan tanah SHM yang tercatat di FKMTI dan sedang terancam jadi sasaran Mafia Perampas Tanah juga dialami Patrick di Tangerang, Almarhum Didi Karsidi di Jakarta Timur dan Tri di Balikpapan. Sedangkan Warga Kirai, Cipete Jakarta Selatan sudah  lebih dari 30 tahun masih belum berhasil mendapatkan SHM saat ikut lagi dengan program PTSL. Sedangkan kasus Pak Nugroho selaku kuasa  pemegang Keppres atas lahannya juga dirampas dengan terbitnya SK ATR BPN

Agus  juga menjelaskan perbedaan Perampasan dan Sengketa Tanah. Menurut FKMTI, korban perampasan tanah tidak pernah menjual dan ada sangkut paut hubungan keluarga dengan pihak perampas tanah. Sedangkan sengketa biasanya soal perebutan hak waris atau dua pihak yang memiliki hubungan bisnis atas satu bidang tanah. Agus menegaskan apa yang dialami oleh anggota FKMTI adalah bentuk perampasan tanah.

Dalam jumpa pers sebelumnya, FKMTI mengusulkan Pemberantasan Mafia Tanah merupakan bentuk Bela Negara. Sebab jika perampasan terus akan merugikan perbankan dan sektor keuangan sehingga perlu dibentuk peradilan adhock Agraria atau peradilan Agraria. Kasus Jiwasraya juga terindikasi salah satu jaminannya adalah aset tanah.

FKMTI menyarankan:

  1. Setiap perbankan yang akan memberikan kredit sebaiknya diberikan surat keterangan mengenai warkah Tanah yang akan menjadi jaminan di perbankan oleh kantor BPN.
  2. Setiap warga yang membeli rumah dan apartemen sebaiknya menandatangi kesediaan buyback oleh developernya jika dalam 5 tahun ternyata pihak Developer tidak mampu memenuhi janjinya kepada pembelinya sesuai harga pasar. Semoga ini menjadi bahan dirjen perlindungan konsumen di Kementerian Perdagangan dan Badan Perlindungan Konsumen Nasional.
  3. Soal pembeli berikhtikad baik perma dan PP No 24 Tahun 1997, sebaiknya ditinjau kembali karena banyak terindikasi sebagai pemicu perampasan tanah.
  4. ATR / BPN saat ini seperti superbody yang mengadopsi, tata ruang dari PUPR, pajak kemenkeu PBB, Mendagri (Lurah/Camat ) saat ini terlihat kewenangannya di ATR/BPN. Padahal disisi jika terjadi kesalahan data, tumpang – tindih tanah. kesalahan hanya dianggap Maladministrasi.
  5. Bagi perusahaan – perusahaan yang terindikasi melakukan perampasan tanah kepada masyarakat, maka sebaiknya mulai dicermati oleh Kementerian keuangan dan mulai dilakukan pembatasan terhadap transfer uang dalam jumlah tertentu keluar negeri.
  6. Bagi korban perampasan tanah yang dinyatakan kebenaran kepemilikannya baik oleh pemerintah RI dan atau keputusan pengadilan maka pemerintah dapat mengeksekusi pada perusahaan tersebut untuk kepentingan korban.
  7. Untuk mencegah terjadi perampasan tanah untuk tidak terulang Kembali, diusulkan agar warkah tanah harus diberikan kepada pemilik lahan sedangkan BPN hanya memiliki catatannya saja. (Rilis/Red)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Open chat
Hello
Can we help you?
.