Nasaruddin: Penembakan Simpatisan FPI Perlu Diusut Secara Tuntas

Oleh : Dr. Nasaruddin Umar, SH.MH

MediaBantenCyber.co.id – (MBC) Ambon, Penembakan 6 orang simpatisan Front Pembela Islam (FPI) di Jalan Tol Jakarta – Cikampek merupakan ancaman yang serius atas kemerdekaan sipil dan hak asasi manusia jika dilakukan secara unprosedural dan unproporsional oleh penegak hukum.

Pakar Hukum Tata Negara Institut Agama Islam Negeri Ambon Nasaruddin Umar menyayangkan langkah tegas kepolisian sebagai pendekatan dalam kasus ini, Ia menjelaskan kehadiran alat negara seperti Kepolisian sejatinya dimaksudkan untuk melindungi rakyatnya karenanya upaya – upaya penegakan hukum tidak bisa terlepas pada penghormatan hak asasi manusia, prosedur hukum, asas legalitas, asas nesesitas dan proporsionalitas dalam melakukan langkah – langkah penindakan di lapangan. Sebab anggota Polri terikat pada asas proporsional agar tindakan petugas/anggota polri seimbang antara tindakan yang dilakukan dengan ancaman yang dihadapi dalam penegakan hukum. Apakah memang ada situasi ancaman serius sehingga simpatisan FPI harus ditembak mati, tegasnya.

“Sebab ada asas – asas hukum yang memberi batasan – batasan bertindak dan prosedur hukum yang harus digunakan anggota polisi dalam upaya penegakan hukum apalagi menggunakan kekuatan senjata, sebab Indonesia kini telah terikat dengan UU 12 Tahun 2005 yang merativikasi Konvena Internasional tentang Hak – hak Sipil dan Politik. Dan kepolisian juga terikat Perkap No 8 Tahun 2009 yang telah menegaskan sebagai alat negara Kepolisian Republik Indonesia mempunyai kewajiban untuk menghormati hak asasi manusia dalam menjalankan tugas dan fungsinya dan dalam ketentuan Pasal 11 di antaranya anggota Polri dilarang melakukan penghukuman dan tindakan fisik yang tidak berdasarkan hukum atau corporal punishment serta dilarang menggunakan kekerasan dan/atau senjata api yang berlebihan.

Lebih lanjut Nasaruddin mengatakan posisi Kepolisian Republik Indonesia secara konseptual konstitusional dalam Pasal 30 ayat (4) UUD NRI Tahun 1945 meletakkan tugas kepolisian disusun secara sistematis dimulai dari melindungi, mengayomi, melayani masyarakat, serta menegakkan hukum diletakkan pada posisi paling akhir dalam deretan fungsi – fungsi kepolisian, dengan maksud agar upaya penegakan hukum merupakan adalah langkah terakhir yang perlu dipertimbangkan secara cermat dan hati – hati.

Selain itu, secara sosiologis hukum seharusnya pihak penegak hukum lebih menahan diri dan berhati – hati dalam menggunakan wewenang hukumnya dalam menangani kasus – kasus yang melibatkan organisasi keagamaan dan pemuka agama khususnya organisasi Islam sebagai bagaimanapun Islam merupakan penduduk mayoritas di Indonesia yang justru harus dilindungi oleh negara, karena memiliki sensitivitas yang tinggi jika ada perlakukan diskriminatif yang terus menerus dilakukan secara massif dan terstruktur akan berpotensi melahirkan instabilitas keamanan secara nasional yang berpotensi menjadi ancaman serius terhadap negara dan pemerintahan, termasuk dalam pelibatan TNI.

Selanjutnya, ia mengatakan jika ditelisik secara hukum tindakan kepolisian dibatasi pada upaya – upaya penyelidikan, penyidikan suatu perkara dalam konteks peristiwa, maka pertanyaan hukum yang muncul dalam kasus ini adalah apa legal standing atau kedudukan hukum aparat kepolisian yang mengawasi pergerakan HRS dapat dibenarkan secara hukum yang berakibat adanya reaksi yang berujung terjadinya penggunaan upaya penindakan. Ataukah secara asas nesesitas kebutuhan penegakan hukum apa yang ingin dicapai yang mengharuskan anggota Polri melakukan tindakan tegas yang membatasi seseorang ketika menghadapi kejadian yang tidak dapat dihindari, ini tentu harus diuji secara hukum keabsahan tindakan tersebut.

Sebab secara prinsip ketatanegaraan Indonesia semua kekuasaan negara prinsipnya dibatasi tidak hanya oleh hukum tetapi juga hak asasi manusia yang bersifat universal dan institusi pemerintahan harus mampu mengendalikan dan memastikan apakah aparat hukumnya telah bertindak profesional dan tidak melakukan tindakan semena – mena terhadap rakyat.

Bagaimanapun juga penembakan terhadap masyarakat hingga tewas hanya bisa dibenarkan secara hukum jika dilandasi dengan suatu prosedur hukum administrasi yang sah dan dapat dipertanggung – jawabkan secara hukum karena menyangkut hak untuk hidup merupakan hak asasi manusia atau mansenrechten yang bersifat non derogable right adalah hak yang tidak dapat dikurangi oleh siapapun dan dan dalam keadaan apapun. Disinilah pentingnya menguji tindakan anggota polri secara internal dan eksternal dalam kasus ini karena kita semua tidak berharap dan jangan sampai terjadi suatu proses penegakan hukum yang di dasari atas kebencian atas seseorang suatu kelompok dan golongan tertentu tetapi ada prinsip praduga tidak bersalah presumption of innocence yang harus dijunjung tinggi.

Karenanya menurut Nasaruddin dalam situasi seperti ini diperlukan kehadiran Kepala Negara untuk tampil mengontrol dan mengendalikan dan mencegah jika terjadi proses hukum yang semena – mena salah arah dan diskriminatif terhadap kepentingan rakyat. Sebagai tanggung jawab konstitusional yang melekat kepada diri Pemerintah untuk melakukan penegakan, perlindungan dan pemajuan hak asasi manusia dana melindungi rakyatnya dan yang paling penting tentu melakukan upaya penyelidikan secara terbuka dengan membentuk tim investigasi indevenden untuk meneliti kemungkinan adanya pelanggaran prosedur, pidana dan pelanggaran HAM Berat yang dilakukan oknum anggota polri dalam bertugas. Termasuk kita harapkan peran serta Komnas HAM RI untuk turun tangan mengusut kasus ini secara transparan dan profesional dan membawa kasus ini dihadapan hukum secara adil. (red)

Penulis adalah Pakar Hukum Tata Negara IAIN Ambon.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Open chat
Hello
Can we help you?
.