Tradisi Mundur Seorang Presiden di Indonesia

Oleh : H.G. Sutan Adil

MediaBantenCyber.co.id – (MBC) Bogor, Kondisi politk di Indonesia yang sedang panas saat ini dengan marak dan masifnya aksi demonstrasi oleh Badan Eksekutif Mahasiswa Seluruh Indonesia (BEM SI) Aliansi Serikat Buruh se- Indonesia, Pelajar STM, berbagai elemen dan kelompok masyarak seperti PA 212, GNPF, FPI kepada Presiden Jokowi untuk membatalkan Undang-undang Omnibuslaw, ternyata masih belum menunjukkan titik terang. Justru saat ini akhirnya muncul tuntutan dari beberapa elemen masyarakat tersebut agar Presiden Jokowi MUNDUR dari jabatannya makin masif bergema.

Disisi lain, aparat keamanan dan Penjabat Tinggi Negara justru melakukan tindakan represif kepada para demonstran berbagai elemen masyarakat tersebut dengan menyebut para pendemo sebagai perusuh dan menyebarkan hoaks serta melakukan penangkapan terhadap mereka.

Akan tetapi ternyata dibelahan lain di sebuah Negara Muslim di Asia Tengah, yaitu negara Kirgistan, Presidennya justru MUNDUR dari jabatannya demi untuk menghindari adanya tindakan represif tersebut seperti kekacauan dan pertumpahan darah, akibat adanya demostrasi besar – besaran di negara tersebut. 

Presiden Kirgistan Sooronbay Jeenbekov menyatakan mengundurkan dirinya tersebut untuk menghindari terjadinya pertumpahan darah, akibat buntut adanya demonstrasi yang berlangsung selama berhari – hari tersebut.

“Saya tidak ingin dalam catatan sejarah Kirgistan tercatat sebagai Presiden yang menumpahkan darah dan menembak warganya sendiri,” ujar Jeenbekov dalam rilisnya, yang dikutip dari Kompas.com., (15/10/2020).

“Militer dan pasukan keamanan jelas akan menggunakan senjata guna melindungi bangunan negara. Darah pun terancam tertumpah,” katanya. 

“Karena itu, saya meminta kepada kedua belah pihak untuk tidak jatuh ke dalam provokasi,” tandas presiden berusia 61 tahun tersebut.

Inilah contoh pemimpin yang baik dan tau diri, tidak mementingkan diri sendiri dan oligarki kekuasaan, mereka lebih mementingkan kepentingan rakyatnya. Dalam sejarah kepemimpinan di negara kita juga sudah banyak contoh pemimpin yang baik sesuai dengan pembukaan UUD 45 dan Pancasila, selain juga tahu diri, juga sangat mementingkan rakyatnya dan bersedia untuk mundur.

Dalam bincang Breaking News di FUI Channel (Youtube), ketika ditanya oleh AL Ustadz M AL Khaththath, tentang kalau presiden tidak mau membatalkan UU Omnibus Law, Pakar hukum Prof Dr H Eggi Sudjana Mastal SH MSI atau lebih dikenal sebagai Bang Eggy, menyatakan bahwa di Indonesia ini tradisi pengunduran diri ini sudah ada sejak presiden pertama Republik Indonesia, Sukarno, selanjutkan juga oleh Presiden Soeharto, BJ Habibie serta Gus Dur, mereka mau mundur karena mereka memakai Konsep TAHU DIRI.

“Pake Konsep Tau Diri, yaitu mengundurkan diri dong, karena walaupun mantan Presiden Soeharto orang bilang dia itu diktator selama 32 tahun, tetapi endingnya dia tahu diri kok, dia ngak mau memaksakan diri, sebenarnya dia masih bisa memerintahkan kepada TNI/POLRI untuk menjaga dirinya sebagai presiden, tapi dia memilih menyatakan diri MENGUNDURKAN DIRI,” tutur Bang Eggy.

“Kemudian terlepas juga konteks Soekarno, Dia juga mengundurkan diri dalam versi lain, yaitu memberikan Surat Perintah 11 Maret 1966. Dan kembali kepada mantan Presiden BJ Habibie, beliau juga akhirnya memilih mengundurkan diri, karena ditolak laporan pertanggungjawabannya oleh MPR. Habibie tidak memaksakan diri untuk tetap menjadi presiden, dalam pengertian ikut pemilu, dia tidak mau, dia menjaga diri dan sangat tau diri,” lanjut Bang Eggy.

“Dan terakhir Gus Dur, Gus Dur juga tahu diri, dengan segala hormat saya dengan Gus Dur, dia juga luar biasa, ngak mau memaksakan diri, padahal dia punya pasukan berani mati, dia masih panglima TNI-POLRI karena presiden, tapi dia lebih baik mengundurkan diri, dari pada terjadi pertumpah darah,” ungkapnya.

Tercatat dalam sejarah, sebagian besar presiden di Negeri ini memang suksesi kepemimpinannya dilandaskan pada penyerahan kekuasaan yang tidak normal seperti yang dialami oleh Presiden Megawati dan Presiden Susilo Bambang Yudoyono.

Selebihnya dilakukan dengan pergantian secara terpaksa tetapi detap dilakukan dengan damai, tanpa adanya pertumpahan darah. Karena mereka menyadari bahwa kelangsungan kehidupan bernegara yang damai dan tenteram adalah yang  menjadi tujuan utama sesuai dengan Pembukaan UUD 45 dan Pancasila.

Diawali dengan Surat Perintah 11 Maret 1966, oleh Presiden Soekarno yang menugaskan Letnan Jenderal Soeharto untuk mengamankan dan menjaga keamanan negara dan institusi kepresidenan. Supersemar menjadi dasar Letnan Jenderal Soeharto untuk Membubarkan Partai Komunis Indonesia (PKI) dan mengganti anggota – anggotanya yang duduk di parlemen.

Setelah pertanggung – jawabannya ditolak Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS) pada sidang umum ke- 4 tahun 1967, Presiden Soekarno diberhentikan dari jabatannya sebagai presiden pada Sidang Istimewa MPRS di tahun yang sama dan mengangkat Soeharto sebagai pejabat Presiden Republik Indonesia.

Jenderal Soeharto ditetapkan sebagai pejabat presiden pada 12 Maret 1967 setelah pertanggungjawaban Presiden Soekarno (NAWAKSARA) ditolak MPRS. Kemudian, Soeharto menjadi presiden sesuai hasil Sidang Umum MPRS (Tap MPRS No XLIV/MPRS/1968) pada 27 Maret 1968. Mulai saat ini dikenal istilah Orde Baru.

Setelah terjadi beberapa demonstrasi, kerusuhan, tekanan politik dan militer, serta berpuncak pada pendudukan gedung DPR/MPR RI, Presiden Soeharto mengundurkan diri pada 21 Mei 1998 untuk menghindari perpecahan dan meletusnya ketidakstabilan di Indonesia. Pemerintahan dilanjutkan oleh Wakil Presiden Republik Indonesia, B.J. Habibie.

Dengan adanya kasus referendum provinsi Timor Timur (sekarang Timor Leste), mendorong pihak oposisi yang tidak puas dengan latar belakang Habibie semakin giat menjatuhkan Habibie. Upaya ini akhirnya berhasil dilakukan pada Sidang Umum 1999, ia memutuskan tidak mencalonkan diri lagi setelah laporan pertanggungjawabannya ditolak oleh MPR.

Selanjut Dengan banyaknya kebijakan yang kontroversial dan adanya isu Bulog Gate dan Brunei Gate yang dihembuskan oleh lawan politiknya, kondisi pemerintahan Gus Dus menjadi goyah. Pada bulan Maret, Gus Dur mencoba membalas langkah pihak oposisi yang berusaha menjatuhkan dirinya dari kursi Presiden dengan mereshuffle kabinetnya.

Menteri Kehakiman dan Hak Asasi Manusia Yusril Ihza Mahendra dicopot dari kabinet karena ia mengumumkan permintaan agar Gus Dur mundur. Menteri Kehutanan Nurmahmudi Ismail juga dicopot dengan alasan berbeda visi dengan Presiden, berlawanan dalam pengambilan kebijakan, dan diangap tidak dapat mengendalikan Partai Keadilan, yang pada saat itu massanya ikut dalam aksi menuntut Gus Dur mundur.

Dalam menanggapi hal ini, Megawati mulai menjaga jarak dan tidak hadir dalam inagurasi penggantian menteri. Pada 30 April, DPR mengeluarkan nota kedua dan meminta diadakannya Sidang Istimewa MPR pada 1 Agustus 2001.

Gus Dur pun mulai putus asa dan meminta Menteri Koordinator Politik, Sosial, dan Keamanan (Menko Polsoskam) Susilo Bambang Yudhoyono untuk menyatakan keadaan darurat. Yudhoyono menolak dan Gus Dur memberhentikannya dari jabatannya beserta empat menteri lainnya dalam reshuffle kabinet pada tanggal 1 Juli 2001.

Akhirnya pada 20 Juli 2001, Ketua MPR Amien Rais menyatakan bahwa Sidang Istimewa MPR akan dimajukan pada 23 Juli 2001, dan Presiden Gus Dur kemudian mengumumkan pemberlakuan Dekrit Presiden yang berisi (1) Pembubaran MPR/DPR, (2) Mengembalikan kedaulatan ke tangan rakyat dengan mempercepat pemilu dalam waktu 1 tahun, dan (3) Membekukan Partai Golkar sebagai bentuk perlawanan terhadap Sidang Istimewa MPR.

Namun Dekrit Presiden tersebut tidak memperoleh dukungan dan pada tanggal 23 Juli 2001, MPR secara resmi Memakzulkan Gus Dur dan menggantikannya dengan Wakil Presiden saat itu, Diah Permata Megawati Setiawati Sukarnoputri atau Megawati.

Dengan kondisi yang tidak jauh berbeda seperti pendahulunya, Presiden Jokowi diharapkan untuk dapat mengambil kebijakan yang benar – benar sesuai dengan Pembukaan UUD 45 dan Pancasila untuk mencabut UU Omnibus Law/Cipta Kerja, agar tidak tercatat dalam sejarah sebagai Seorang Presiden yang dipaksa mengundurkan diri atau dengan cara pemakzulan juga. (BTL)

Penulis adalah Ketua DPP FKMI (Forum Komunikasi Muslim Indonesia)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Open chat
Hello
Can we help you?
.